Cintaku terombang ambing di kota pahlawan
Ketika mata melirik hatipun mulai merasakan getaran irama dunia
yang tersimbol dalam sinponi cinta. Pancaran cahaya suci menyeruak dari tubuh
mungil yang penuh lapisan busana islami nan anggun. Pesona dunia mengalahkan
kekuatan cinta yang telah lama tertaman dalam jiwa akhwatku. Kerinduan yang
selalu tercurahkan hanya pada Dia semata, kini gemerlap kota pahlawan
(Surabaya) melembur segenap rasa, menggoncang setiap aliran darahku. Dulu
setiap hembusan nafasku tergores asmaNya, namun pengaruh kemewahan menghantam
hati kecilku untuk masuk dan membuka lembaran baru. Awalnya aku hanya ingin
berlabuh dalam samudera asmara tanpa harus terseret kedalamnya, namun badai
kian menerjang membawaku kedasar lautan yang penuh karang kepalsuan. Mencoba
berenang namun gelombang makin kencang membuatku terseret dalam kebisuan.
Senin, 07 februari 2011
Hari ini adalah hari penentuan yang penuh ketegangan, suasana
menggetirkan. Dengan pelan aku melangkah melewati lorong-lorang kecil memasuki
ruangan kelas yang sudah tertera dalam kode dan nomerku. Kulihat teman-teman
pada tegang menunggu petugas ujian, wajahnya memancarkan kekhawatiran, namun
senyuman indah masih tercurahkan untuk menutupi segalanya. Setelah lama kucari
tempatku, akhirnya kutemukan bangku nomer dua dari belakang deretan bagian
kanan pas disamping jendela. Belum lima menit ku duduk, ponselku berbunyi,
teman-teman pada noleh ke arahku, mungkin mereka merasa aneh dan asing, aku
yang biasanya terbiasa dengan tangan kosong tanpa gengaman handphone ditanganku
kini mengundang perhatian mereka, segera kuraba ponselku.
“Be careful to answer the question. Good luck girl, you are lucky
today. Fighting,,,,! Here I will always pray for you, don’t worry I’m with you
girl.” By. Toni
Subhanallah, hatiku bergetar jiwaku bergeming “terimaksih ya Rabb,
Engkau kirimkan malaikat penyemangat untukku.” Toni adalah orang pertama yang
memberiku semangat dalam menghadapi tumpukan soal di hari pertama aku mengikuti
ujian UNAS pada tingkat SMA. Walau hanya tersurat dalam pesan namun kalimat itu
cukup memberiku motivasi. Aku mengenal toni beberapa bulan yang lalu, disaat
aku mengunjungi saudaraku, Ilyas. Toni seorang pendatang baru, dia tinggi,
cakep, gagah dan gak kalah hebohnya dia pintar. Dari perkenalan itu toni
meminta nomer dan nama facebook-ku pada ilyas, tanpa menunggu persetujuanku
Ilyas langsung menyudorkan nomerku. Harapku toni akan menjadi motivator dalam
setiap gerakku. Selama ini aku tak pernah beranikan diri untuk menjalin
persaudaraan ataupun persahabatan dengan lawan jenis, mungkin karna keluagaku
yang terlalu agamis, fanatik dan membatasiku untuk berkelana jauh dalam
berteman. Namun kurasa Toni orang yang
baik, perhatian dan bisa menghargai seorang wanita. Tak pernah kusangka Toni
yang kukenal adalah ketua jurnalistik di pondok putra, hal itu ku ketahui
disaat konferensi jurnalistik putra-putri pondok Al-jailani. Dalam konferensi
ini disempurnakan dengan adanya seminar yang berjudul “mendongkrak pesantren
dalam menghadapi modernisasi zaman.”. dalam sesi Tanya jawab,
pertanyaan-pertanyaan mulai terlontarkan, seakan angin yang merobohkan teguhnya
bangunan. Jurnalistik putra selalu mencoba menggulingkan pondasi yang ku
miliki, hingga akhirnya menjadi perdebatan yang sengit. Hal itu berawal saat
kuletupkan pertanyaan, Toni selalu kontra dengan pemikiranku, untungnuya
moderator bisa menguasai audien, jadi aku bisa menahan emosi yang mulai
berjingkrak dalam jiwaku. Suasana senyap menjadi panas dan penuh dengan
linangan amarah, hingga waktupun berakhir dengan wajah kusut dalam keheningan.
“Alby masih marah sama kak Toni?” Naya menyodorkan pertanyaan
membuka kebisuan.
“Aku Cuma sebel aja, apa sih maunya anak itu, bisanya hanya
menyangkal pendapat orang, gak bermutu banget bukan.” Jawabku manyun. Naya
hanya diam menghela nafas, sesekali matanya melirik kearahku, bola matanya
mengisyaratkan ada secercah kehadiran mangsa disampingku, ku mulai mengerti
dengan kedipan matanya, ku coba menoleh. Lagi-lagi Toni sosok yang menyebalkan
itu berdiri tepat disebelahku.
“Selamat ya pemikiranmu sangat dalam, hingga aku terpancing merasuk
dalam diskusi yang begitu asyik dan menyenangkan.” Ucapnya sambil melemparkan senyum
padaku, aku gak getir dengan kata-katanya. Entah itu pujian atau ejekan semata,
tapi yang aku tau dia bersorak dalam keangkuhan.
“oke terimakasih kamu telah hadir merubah ruang menjadi istana.”
Timpalku dengan senyum kepalsuan.
Entah apa yang ada dalam benak Toni saat itu, yang aku tau dia
hanyalah sesosok yang aneh, dan membingungkan, datang meruntuhkan semangatku
kemudian berkobar dengan senyuman yang seakan penuh ketulusan. Sejak perdebatan
dalam forum itu Toni semakin rajin mengintai kata untukku, baik itu tersirat
dalam tatapan atau tersurat dalam bait puisi. Sikap yang dulu tersimpul dalam
kebijaksanaan, kini ternodai oleh gemerlap rasa dalam dirinya. Namun diriku terbatasi oleh jeruji suci dalam
istana pesantren, hingga setiap gerak dan langkahnya sulit terupdate dalam
benakku. Akupun tak mengerti ketika rindu terbungkus untukku, ketika bunga
cinta bermekaran menyambut kehadiranku. Mungkin hatiku belum tersentuh karna
jarak yang membentang begitu jauh, atau mungkin cintanya hanya berayun dalam
kata atau bualan yang menjadi dongeng disetiap malam. Berita tentang asmara
menggetarkan setiap insan yang mendengarnya, tingkah dan sikapnya makin
menjadi, kadang berlebihan didepanku, kadang juga menjadikanku ratu dalam
sisinya. Namun sebaliknya, aku merasa tertekan dengan sikapnya, terasa ada
beban disaat wajahnya menyembul kearahku, bahkan aku muak melihat kelakuannya
yang keluar dari logika. Banyak pengorbanan yang Toni lakukan tuk meraih
hatiku, tak pernah getir dan putus asa walau harus menanggung malu dengan sikap
konyolnya di depan teman-temannya juga temanku.
Liburan sekolah menjadi hal terindah bagi anak pesantren,
lebih-lebih aku. Ingin rasanya berteriak girang membentang cakrawala, tapi
nafasku mulai mereda dalam kebahagiaan. Kini saatnya aku menuju surgaku, tempat
dimana aku dilahirkan bersama ibu juga ayahku. Jam 09.00 pagi aku bersama
teman-temanku menunggu bus yang akan mengantarkanku dalam dekapan sang bunda.
“Eheeemm, “ sebuah suara mengejutkanku, dengan gerak reflek ku
menoleh kebelakang, disana kutemukan sosok insan yang selama ini menggebu di
seantero pesantren.
“Assalamualaikum,,,”ucapnya memberi salam dengan senyum ketulusan.
Temanku seakan mengerti kalau dua insan akan bertarung dalam percakapan yang
lama, sehingga dengan gesitnya mereka beralih menjauh dariku.
“Waalaikumsalam,,,”jawabku. Belum kami ngobrol bus menuju bandung
sudah berhenti didepanku, dengan segera aku mencari tempat duduk pas depan
jendela, berharap bisa menikmati udara segar disepanjang perjalanan.
“Boleh aku duduk disini?”pinta Toni mengagetkanku, aku hanya
mengangguk setuju. Suasana senyap tanpa suara bahkan sunyi oleh irama kata.
Setelah 10 menit dalam keheningan Toni memecahkan suasana dengan menyodorkan
minuman kearahku.
“Kamu langsung pulang”Tanya Toni membuka pembicaraan.
“Iya pastinya”jawabku dengan penuh senyum keyakinan. “ Emang kamu
gak langsung pulang” kataku balik Tanya.
“Sebenarnya aku mau langsung pulang, sekalian kita searah, tapi aku
masih ada acara, insyaallah besok aku,,,” belum melanjutkan perkataannya bus
udah berhenti, dengan segera Toni berdiri dan melompat dari bus, namun walau
dalam keramaian penumpang, Toni masih sempatnya melemparkan kertas kearahku.
Kini bus mulai melaju membawaku terbang dalam angan hingga menjauh dari
bayang-bayang Toni. Dengan pelan kuraba kertas putih yang bertuliskan tinta
biru.
Dear , Iftah Qalby (alby), sang inspirasi jiwa.
Kutitipkan desah hati pada udara yang letih
Sudahkah kau membaca desahku dalam mimipimu yang basah?
Jika tidak,,,,
Maka akan ku larung harap pada hening yang bising
Jeritannya yang lelah akan memekakkan telingamu
Hinnga kau tuli tak bisa mendengarku untuk selamanya
Dan aku….
Akan menjadi bayangan yang absurd dalam cermin keabadianmu.
Hati yang tak mungkin berlayar untuk berlabuh pada hati yang
berbeda.
Pesona hatimu telah menundukkan egoisme jiwa dalam diri.
Terpasung dalam rangkaian hidup yang kau jalani.
Dalam angan yang kau balutkan dalam jiwaku.
Suka dukaku akan selalu terpaut dalam dirimu.
Kesadaranku tak bersama peduliku
Yang kutahu peduli dalam diriku adalah dirimu.
By: Toni Saputra
Ku hayati setiap kata yang terhembus dalam tinta ketulusan, kadang
terlihat bait yang menggelitik jiwaku, kadang senyuman menjawab getaran hatiku.
Sampai detik inipun hatiku belum tersentuh seutuhnya, tak ada respon hangat
dariku. Aku merasa semua hanya fiktif belaka, aku belum pernah mendengar
langsung dari orang yang telah lama merongrong jiwaku dengan penuh filosofi cinta. kutulis secercah kata
yang mengambang dalam benakkku.
Dalam kreasi kuletupkan suara hati
Meminta
waktu menafsirkan puisi
Dari
seorang pujangga yang penuh filosofi
Jiwa
bergetar hati bertanya
Semua diam
bungkam tanpa suara
Rasa
mengambang dalam terpaan irama kebimbangan
Teman,
shabat atau apakah itu?
Kamis, 15 September 2011
Semenjak lulusan SMA cerita yang pernah mewarnai hidupku mulai
sirna, telah lama Toni menghindar dari kehidupanku, mungkin rasa kecewa dan
putus asa yang membuatnya menjauh dari lukisan hidupku, namun justru
kepergiannya menyisakan luka yang begitu dalam, menancap, mengiris setiap
lubang di hatiku. Entah apa yang membuatku menggila, merindu bahkan diriku
linglung dengan sebuah penantian, mungkin inikah cinta, hadir disaat penawar
racun lenyap dari dekapan, disaat awan cinta tak lagi bersemayam dibawah langit
kerinduan, disaat penantian terseret dalam badai ketidakpastian. Hari demi hari
kulewati tanpa kabar darinya, bulan demi bulan kutorehkan kesedihan tanpa
tambatan darinya, satu tahun kujalani tanpa kerdipan komunikasi bersamanya.
Akhirnya ku ambil cara terakhirku tuk coba menepis rasa yang lama tertimbun
dalam ketidakpastian, hiruk piruk kota Surabaya mengajarkanku tentang
kemandirian, tak ada lagi ketergantungan dalam langkahku, yang ada hanyalah
perenungan. Namun harapku tak semulus yang aku kira, rasa itu begitu melekat
dalam setiap hembusan nafasku. Banyak pelajaran yang kupetik dari pengalaman
pahit ini, bahwa tak ada salahnya mencoba merangkai cinta dan menghargai
perasaan, agar orang yang kita cintai selalu disisi kita. Tapi saat kucoba
berenang, diriku hanyut terseret dalam dasar lautan kebingungan, aku merasa
terombang ambing dengan rasaku sendiri. Hal ini berawal ketika aku mengenal
Irfan, Irfan adalah seniorku dikampus, dia baik, perhatian dan penuh
pengorbanan. Sejak itu aku mulai memecah kesunyianku dengan mengoleksi banyak
kawan, tapi harapanku tak semulus yang aku kira, Irfan yang aku anggap sebagai
teman, malah mengutarakan isi hatinya bertepatan ketika Raihan teman angkatanku
mencoba mendekatiku, sungguh aku bingung, padahal hatiku masih terkunci dengan
rasa cinta, aku hanya ingin banyak teman, karena kurasa mereka akan menjadi
motivatorku.
Setiap aku melangkah, jiwaku terasa tergoncang, diri ini terasa
terbebani oleh dua rasa yang membentang menjadi bayang-bayang dibenakku. Disisi
lain aku tak ingin menjadi boomerang bagi hidup mereka, tapi aku tak mau
persaudaraan ini berakhir tanpa makna, namun diriku sadar, kebahagiaanku
terselimuti oleh egoisme jiwa. Dua sayap terbang dalam harapan yang sama,
mengais cinta dari sang dara jelita. Aku terpagar oleh duri dilema, dengan
penuh pertimbangan kurangkai seuntai kata yang tersirat dalam keheningan, tapi
tak mungkin kutemui dua gejora dalam lintangan cakrawala. Akhirnya ku letupkan
strategi agar tak ada hati yang tersakiti, pertama kutemui Irfan dikebun Ilmu
kampusku, disaat menara cinta tak lagi terhembuskan, dengan pelan kuucapkan
coretan hatiku yang selama ini ditunggu sebagai jawaban pertanyaan yang
menggelisahkan.
“Kak Irfan, maafin aku . aku gak bisa menjalani hubungan ini lebih
dari persaudaraan, aku sangat menghargai pengakuan dan kejujuran kak Irfan,
tapi tuk saat ne aku hanya ingin fokus
ma kuliahku dulu kak, disamping itu cinta tidak hanya teruraikan dengan kata,
tapi harus terlaksanakan dengan hati,terimakasih kakak udah menjadi orang yang
baik buatku selama ini.” kataku pelan penuh dengan kegelisahan. Namun
kegelisahanku berujung dalam ketenangan ketika ku dengar respon Kak Irfan yang
meyakinkan nan bijaksana.
“Dek, apa yang pernah kulakukan bukan berarti kedok untuk mengupas
sebagian hatimu, kebaikan yang aku berikan ikhlas tanpa alibi, aku mengerti
maksudmu. Bisa kenal denganmu suatu kebahagiaan buatku, tapi harapanku semua akan
indah pada waktunya.” jawabnya menggertakkan jantungku. Semua diam tanpa suara,
ingin kubisikkan satu kata; tapi aku tahu dalam dirinya masih menyimpan harap.
Akhirnya ku akhiri dengan Salam perpisahan. Hari pertama telah kulewati
memerangi nafsu angkara, hari kedua kucoba desahkan kata yang pernah ku
lantunkan bersama Kak Irfan, namun hasilnya bertolak belakang, Raihan tidak
bisa menerima jawabanku, dia selalu menepis dan memaksa hati tuk berlabuh dalam
hatinya. Sungguh diriku lemas tak berdaya, aku seakan terbelenggu dalam samudra
kematian. Aku terkaram dalam emosi, jika memang hati tak bisa meredam
keangkuhan, maka ketegasan harus hadir bersama kerapuhan, walau akhirnya harus
berakhir. Aku benar-benar bingung, sedangkan mutiara cinta tak pernah bersinar
dalam ruhku. Menerimanya hanyalah sebuah kemunafikan, jika hal itu terjadi,
berarti diriku membuat sarang kenestaan. Semenjak pertikaian hati merombak dalam tiga jiwa, komunikasipun
mulai merenggut persaudaraan, lebih-lebih Raihan, dia yang biasanya menari
dalam setiap langkahku kini menjauh tanpa tegur sapa. Kak Irfan yang telah lama
menghilang kembali dengan secercah harapan, aku serba salah apa sikapku yang
selalu memberi harapan, hingga mereka masih dalam penantian.
Selasa, 06 Maret 2012
Saat liburan menghambar, aku mulai mengemas barangku menempuh gubuk
yang menjadi sumber hidupku. Sebelum aku pergi, kudengar ponselku berbunyi.
Saat kubuka kutemukan pesan singkat dari Kak Irfan, dia meminta aku untuk
bertemu walau sekejap. Dengan penuh pertimbangan ku kabulkan permintaannya,
ketepatan aku bersama temanku (Rasti), begitu juga Kak Irfan, dia datang dengan
temannya ( Kak riko), teman yang selalu menjadi curahan hatinya, tak pernah
kusangka Kak Riko sudah mengetahui semua bianglala asmara yang terkuak dalam
diri Kak Irfan, bahkan disaat pertemuan berakhir Kak Riko menghubungi aku untuk
memberi ketegasan, karena selama ini Kak Irfan tersakiti, bahkan jiwanya tak
normal, hal ini berawal ketika Kak Irfan mendengar tentamg pertemuanku dengan
Kak Rafi, teman baru Rasti. Padahal saat itu aku terpaksa menemani Rasti,
karena tak ada pilihan lain, walau sebenarnya aku masih terlilit oleh banyak
tugas. Siapa yang bisa menerka, Kak Rafi yang selalu diagung-agungkan oleh
Rasti hanyalah musuh dalam selimut, dia sengaja mengajak Rasti ketemuan agar
bisa bertaut kata denganku, dengan harapan semua orang bilang dia paling hebat,
dan laki-laki yang jantan, dia bisa dapatkan apa yang tak bisa diraih oleh
temannya, kebetulan dia temannya Kak Irfan juga Kak Riko. Setelah pertemuan itu
dia mengarang sebuah cerita yang begitu sempurna, dia bilang dia bisa menyentuh
hatiku walau hanya dalam sekejab. Dengan penuh kemarahan Kak irfan luapkan
padaku, aku hanya membisu, pembelaanku tak pernah tersosialisasikan, akhirnya
aku memilih diam, untungnya Kak Riko orang yang dewasa dan bijaksana, dengan
letupan katamya dia coba tuk meredam amarah dalam diri Kak Irfan. Dari situlah,
Kak Riko meminta aku untuk menghindar dari hidup Kak Irfan, karna harapan itu
sudah sirna, pergi adalah jalan yang terbaik. Walau sebenarnya diriku teriris
oleh kesedihan, tapi ini ruang yang harus ku pilih, kini tak ada lagi tautan
inspirasi darinya, tak ada lagi siraman ketenangan darinya. Selamat datang
dunia baruku, sambutlah diriku dengan senyum ikhlasmu, aku akan berkelana
bersama langkahku.
Senin, 11 februari 2013
Kini diriku sudah beranjak dewasa, saatnya ku mantapkan diriku
untuk serius dalam programku. Ayah, ibu juga kakakku sangat mengharapkan
diriku, yang akan hadir dalam kecerahan. Hati tak ingin mengecewakannya, namun
rintanganpun datang kembali ketika aku mengenal Rama, Adi juga mas Alfin.
Bagiku mereka sumber inspirasiku, karena selain mereka baik, mereka juga
pintar, dan selalu nyambung dengan segala topik. Awalnya mereka menjelma
menjadi malaikat dalam hidupku, banyak pengorbanan yang mereka lakukan untukku,
tapi semua hanyalah basa basi untuk mencairkan hatiku, lagi-lagi aku harus
berhadapan dengan serba serbi cinta. Mas Alfi anaknya serius, religious, dan
fanatik. Namun kadang dia sering mengumbar kelebihannya didepanku, hingga
membuatku sedikit ilfil, tapi ku tetap jalani bersamanya mengikuti arus
rintangan. Adi anaknya baik, perhatian, sensitive dan puitis, sedangkan Rama
orangnya netral, bisa ada dalam semua pihak, walau kadang gokil, tapi juga
menyenangkan sekaligus menyebalkan. Duniaku terasa lebih berwarna dengan
kehadiran tiga cahaya disisiku setelah sekian lama aku terkurung dalam
ketakberdayaan. Komunikasiku semakin lancar, bahkan mereka menjadi inspirasi
penaku. Entah mengapa selama ini Adi menaruh rasa yang berbeda denganku, lama
sudah membendungnya hingga akhirnya dia tumpahkan padaku. Saat malam mulai
bercengkrama dengan kesunyian, Adi layangkan sebuah puisi melalui pesan singkat
yang membuatku makin takut.
Aku tak tahu apa yang harus dikata
Saat hati bersemayam beribu kata
Akhirnya, hanya bisu yang kupilih
Jiwaku merintih
Sejauh mana jalinan ini Akan melangkah
Akankah jalinan ini Akan menjemput dua rasa
Yang Akan tersimpul dalam satu ikatan
Lagi-lagi aku berhadapan dengan sang pujangga, yang setiap
rangkaian katanya mengandung miliaran makna, aku direntangkan dalam bingkisan
yang membingungkan, disisi lain aku menginginkan Adi tetap disisiku tanpa ada
rasa yang baru, karena dengan hadirnya menumbuhkan kuncup kecerahan dalam
langkahku, namun aku tak mungkin bertahan disaat hatinya ingin merengkuh
jiwaku. Mungkinkah diriku terperangkap dalam egoisme jiwa?. Kutuntaskan
liku-liku hatiku, mencoba mengalirkan kejernihan dalam ruhnya. Dalam kata Adi
bisa menerima penjelasanku, tapi rasa siapa yang bisa mengerti, karena rasa itu
tak bisa diungkapkan. Walau kutahu Adi yang sebenarnya, kutetap redam dalam
hati, aku tak ingin menyakitinya, biarlah waktu yang akan menari dalam
kebijaksanaannya.
Seiring berjalannya waktu kuraih kehidupan yang penuh belenggu,
lebih-lebih saat gosip tantang hubungan palsu yang yang terjalin antara aku dan
mas Alfin tersebar disetiap insan melintas, harapku untuk hidup tenang makin
sempit. Bahkan orang yang kuanggap close friend (Rama) menjadi sumber dari
semuanya, hingga terdengar jelas di keluarga besarku, padahal aku sudah
perjanjian dengan keluargaku kalau diri ini hanya fokus dengan kuliah, tanpa
kata pacaran, tambah kakak memang melarang aku untuk pacaran, akhirnya aku
harus menanggung buah yang tak kutanam. Jelas-jelas aku gak ada hubungan serius
dengan Kak Alfin, mengapa harus sesempurna itu ceritanya. Tak ada pilihan lain
aku harus mau dijodohkan dengan pilihan keluarga yang sudah direncanakan sejak
aku masih dibangku SMA, mengelak takkan ada pertimbangan, karena semua sudah
didepan mata. Sebenarnya Kak Fatir tidaklah jelek, malah dia lebih cakep dari
orang-orang yang selama ini dekat denganku, diapun tak kalah baiknya, dia
perhatian, dewasa, pintar dan tanggung jawab, tapi aku hanya menganggapnya
seorang kakak, tidak lebih dari itu, walau sebenarnya Kak Fatir berharap aku
menjadi tulang rusuknya. Pertunanganpun dimeriahkan walau hati menangis, tapi
kupasang wajah ceria berharap kedua belah keluaga tersenyum bahagia. Sejak
ikatan itu di sahkan ku pasang tali perekat hati, tuk berhenti bersenandung
dalam irama kemunafikan. Segala maaf ku letupkan dalam rebahan Adi, dia hanya
diam sesekali air matanya membanjiri lautan pipinya. Sebaliknya aku hilang
kontak dengan Rama, seiring berjalannya waktu dia mengerti akan khilaf yang
diluapkan. Namun ku udah gak perduli dengan semua itu, karena takkan bisa merubah
keadaan yang terlanjur basah.
Dua tahun kujalani ikatan tanpa kabar berita, bagiku bisa
bertunangan sudah menghindar dari tanggung jawab, tak mengerti akan dibawa
kemana hubungan ini. Satu minggu dari pernikahanku, Toni datang dalam hidupku
membawa sepucuk cinta dan sayang, aku yang selama ini menyimpan rindu tak bisa
menolak kehadirannya, kusambut dengan penuh rasa. Walau kutahu pasti banyak
hati yang tersakiti, tapi cinta tak bisa dipaksa. Akhirnya aku kembali
kesurabya mengejar cintaku yang telah lama tertimbun oleh waktu, dan kurajut
cinta bersamanya. Tak bisa dipungkiri baik keluargaku juga keluarga Kak Fatir
mengasingkan aku, lima bulan aku seakan hidup sebatang kara, hanya tangis yang
bisa ku torehkan. Kak Fatir yang ramah nan bijaksana datang dan mengikhlaskan hubunganku dengan Toni,
dari situlah dua keluarga menyatu kembali. Sedang aku asyik dalam cinta
sejatiku. Mungkin inilah bianglala cinta yang harus ku tempuh tuk meraih cinta
yang haqiqi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar