Kecelakaan
Dul:
Antara Kebebasan dan Kesadaran Kognitif
Kasus
kecelakaan maut yang menimpa Dul (Abdul Qadir Jailani) 13 tahun, seakan benar-benar
menjadi bentuk kritik pada jiwa manusia, terutama orang tua untuk terus
menopang kesadaran dalam setiap tindakan anak. Yang terpenting dalam
kehidupan anak tidak hanya materi yang melimpah, fasilitas yang memadai, tapi
juga kasih sayang serta arahan positif dari orang tua. Kelalaian orang tua
dalam mendidik anak bisa mengantarkan anak ke jurang kehancuran dalam kehidupannya. Kebebasan yang diberikan tanpa
adanya kesadaran tidak akan bermakna
apa-apa, dikarenakan jiwa
anak yang masih sulit untuk mengontrol kognitif secara normal.
Eksistensi Kebebasan dan Kesadaran
Setiap manusia mempunyai kebebasan
dalam segala hal, baik dalam tindakan, sikap
ataupun perbuatan, dimana semua itu dirangkai
dengan substasi dan tanggung jawab dalam dirinya. Begitulah penjelasan firman
Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al Fushshilat ayat 40. Manusia sebagai subjek yang otonom, secara fundamental bebas
berbuat dan menentukan pilihan. Adanya kebebasan tak jarang memberikan kesempatan yang buruk bagi anak remaja, bahkan juga
diaplikasikan dalam lingkup sosial, hingga
membudidaya dalam jiwanya. Arus besar hidup selalu mengantar pada garis waktu,
bisa jadi kebebasan hanya formalitas untuk kesenangan sesaat. Hal ini terjadi
ketika anak remaja terjun dalam dunia bebas tanpa jangkauan orang tua. Ketika dunia telah merajalela dalam jiwa manusia, diikuti dengan kebebasan dan kesadaran yang tidak
seimbang dalam memaknai hidup, maka akan membawa manusia yang dalam
hal ini remaja, pada titik kehancuran.
Korelasi antara kebebasan dan
kesadaran yang
benar-benar substantif sangat perlu diterapkan dalam perilaku
manusia sehari-hari, lebih-lebih pada anak yang masih labil. Kebebasan menjadi
kunci utama kebahagiaan manusia dalam meraih esensi indahnya kehidupan. Sedangkan kesadaran menyalurkan pikiran dan perasaan untuk tetap menjaga
nurani dari tantangan hidup yang bisa membawa jiwa manusia pada sikap
pragmatis, hedonis, transaksional dan lain-lain. Namun dilihat dari fenomena yang terjadi
akhir-akhir ini, koridor nurani manusia masih sempit. Politik dan kemewahan mengaung dalam ruang
kehidupan yang masih kelabu, dimana korupsi, kenakalan remaja, ugal-ugalan,
mabuk menjadi rutinitas yang tunduk dalam keseharian, tanpa mementingkan proses
dan revolusi mental pada diri manusia itu
sendiri.
Kesadaran Kognitif
Walaupun kebebasan bersemayam dalam jiwa manusia, namun dibalik itu, ada hal penting yang harus disadari untuk
menentukan pilihan. “Hakikat
manusia adalah jiwanya”,
demikian Platon berkata. Seharusnya kita mendalami secara spesifik bagaimana
kita bisa mengoptimalkan jiwa kita. Di tengah kesibukan aktifitas untuk
memenuhi kesenangan dengan berdalil kebebasan, hendaknya kita mencari tahu
dengan bijaksana tentang kebutuhan jiwa kita sendiri. Tetapi, bagaimana mungkin
kita mencari tahu sesuatu dengan bijaksana kalau kita tidak mengenali diri kita
sendiri pada mulanya? Kita seakan-akan mesin yang dikendalikan oleh nafsu
badani. Contoh konkretnya, bisa
kita lihat dan renungkan pada kecelakaan yang menimpa Abdul Qadir Jailani (Dul). Dengan
usia yang masih dini, dia mengendarai mobil sampai larut malam padahal masih
dibawah umur yang sudah
pasti belum mempunyai Surat Izin
Mengemudi (SIM). Siapa yang harus disalahkan dalam
hal ini? Kebebasan anak atau kelalaian orang tua?
Secara psikologi,
kontrol kognitif anak seumuran Dul belum berfungsi secara normal. Kepekaan dan
kepedulian pada usia tersebut masih labil, sehingga tidak mampu memprediksi antara
jarak satu mobil dengan yang lainnya.
Selain itu, secara emosional anak
seumuran Dul belum bisa mengontrol diri ketika mengendarai dengan kecepatan
tinggi. Karena sejatinya, kognitif anak akan berfungsi secara normal baru ketika berusia 17 tahun . Maka dari itu, undang-undang mengatur dengan jelas
bahwa pengemudi mobil haruslah mereka yang sudah berumur 17 tahun dan memiliki
Surat Izin Mengemudi. Peraturan ini secara jelas tercantum dalam Pasal 77 ayat
(1) UU No.22 Tahun 2009, yang berbunyi, “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan wajib memiliki Surat
Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan”
Rusaknya seorang anak
dan remaja bisa diakibatkan oleh kesalahan orang tua dalam mendidik anak.
Kebebasan yang terjadi tanpa adanya kesadaran, mengakibatkan rendahnya
kesadaran kognitif pada anak, karena kognitif
anak tidak seimbang. Disinilah peran orang tua dalam mengontrol dan mengawasi buah
hatinya. Menjadi orang tua
bukan soal siapa kita, tetapi apa yang seharusnya kita lakukan. Pengasuhan
tidak hanya mencakup tindakan tetapi juga mengenai apa yang kita inginkan
terhadap buah hati dalam mengerti dan menjalani kehidupannya. Perhatian dan
kasih sayang merupakan hal yang mendasar bagi anak. Lingkungan rumah selain
sebagai tempat berlindung, juga
sebagai tempat mendapatkan kebutuhan hidup, bergaul, mendapatkan rasa aman,
mengaktualisasikan diri, dan sebagai wahana perkembangannya secara fisik maupun psikologis. Dalam beraktifitas kita dikendalikan
oleh konsep agama, latar belakang pendidikan, adat atau tradisi, identitas atau
jabatan yang kita sandang. Kita bahkan jarang berpikir secara sadar untuk
melakukan apa yang seharusnya kita lakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya
tidak kita lakukan. Jika kebebasan dan kesadaran bisa seimbang, maka pola
kehidupan akan terasa nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar