Rabu, 13 November 2013



Kecelakaan Dul:
 Antara Kebebasan dan Kesadaran Kognitif


Kasus kecelakaan maut yang menimpa Dul (Abdul Qadir Jailani) 13 tahun, seakan benar-benar menjadi bentuk kritik pada jiwa manusia, terutama orang tua untuk terus menopang kesadaran dalam setiap tindakan anak. Yang terpenting dalam kehidupan anak tidak hanya materi yang melimpah, fasilitas yang memadai, tapi juga kasih sayang serta arahan positif dari orang tua. Kelalaian orang tua dalam mendidik anak bisa mengantarkan anak ke jurang kehancuran dalam kehidupannya. Kebebasan yang diberikan tanpa adanya kesadaran tidak akan bermakna apa-apa, dikarenakan jiwa anak yang masih sulit untuk mengontrol kognitif secara normal.

Eksistensi Kebebasan dan Kesadaran
Setiap manusia mempunyai kebebasan dalam segala hal, baik dalam tindakan, sikap ataupun perbuatan, dimana semua itu dirangkai dengan substasi dan tanggung jawab dalam dirinya. Begitulah penjelasan firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al Fushshilat ayat 40. Manusia sebagai subjek yang otonom, secara fundamental bebas berbuat dan menentukan pilihan. Adanya kebebasan tak jarang memberikan kesempatan yang buruk bagi anak remaja, bahkan juga diaplikasikan dalam lingkup sosial, hingga membudidaya dalam jiwanya. Arus besar hidup selalu mengantar pada garis waktu, bisa jadi kebebasan hanya formalitas untuk kesenangan sesaat. Hal ini terjadi ketika anak remaja terjun dalam dunia bebas tanpa jangkauan orang tua. Ketika dunia telah merajalela dalam jiwa manusia, diikuti dengan kebebasan dan kesadaran yang tidak seimbang dalam memaknai hidup, maka akan membawa manusia yang dalam hal ini remaja, pada titik kehancuran.
Korelasi antara kebebasan dan kesadaran yang benar-benar substantif sangat perlu diterapkan dalam perilaku manusia sehari-hari, lebih-lebih pada anak yang masih labil. Kebebasan menjadi kunci utama kebahagiaan manusia dalam meraih esensi indahnya kehidupan. Sedangkan kesadaran menyalurkan pikiran dan perasaan untuk tetap menjaga nurani dari tantangan hidup yang bisa membawa jiwa manusia pada sikap pragmatis, hedonis, transaksional dan lain-lain. Namun  dilihat dari fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, koridor nurani manusia masih sempit. Politik dan kemewahan mengaung dalam ruang kehidupan yang masih kelabu, dimana korupsi, kenakalan remaja, ugal-ugalan, mabuk menjadi rutinitas yang tunduk dalam keseharian, tanpa mementingkan proses dan revolusi mental pada diri manusia itu sendiri.

Kesadaran Kognitif
Walaupun kebebasan bersemayam dalam jiwa manusia, namun dibalik itu, ada hal penting yang harus disadari untuk menentukan pilihan. “Hakikat manusia adalah jiwanya”, demikian Platon berkata. Seharusnya kita mendalami secara spesifik bagaimana kita bisa mengoptimalkan jiwa kita. Di tengah kesibukan aktifitas untuk memenuhi kesenangan dengan berdalil kebebasan, hendaknya kita mencari tahu dengan bijaksana tentang kebutuhan jiwa kita sendiri. Tetapi, bagaimana mungkin kita mencari tahu sesuatu dengan bijaksana kalau kita tidak mengenali diri kita sendiri pada mulanya? Kita seakan-akan mesin yang dikendalikan oleh nafsu badani. Contoh konkretnya, bisa kita lihat dan renungkan pada kecelakaan yang menimpa Abdul Qadir Jailani (Dul). Dengan usia yang masih dini, dia mengendarai mobil sampai larut malam padahal masih dibawah umur yang sudah pasti belum mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM). Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Kebebasan anak atau kelalaian orang tua?  
Secara psikologi, kontrol kognitif anak seumuran Dul belum berfungsi secara normal. Kepekaan dan kepedulian pada usia tersebut masih labil, sehingga tidak mampu memprediksi antara jarak satu mobil dengan yang lainnya.  Selain itu,  secara emosional anak seumuran Dul belum bisa mengontrol diri ketika mengendarai dengan kecepatan tinggi. Karena sejatinya, kognitif anak  akan berfungsi secara  normal baru ketika berusia 17 tahun . Maka dari itu, undang-undang mengatur dengan jelas bahwa pengemudi mobil haruslah mereka yang sudah berumur 17 tahun dan memiliki Surat Izin Mengemudi. Peraturan ini secara jelas tercantum dalam Pasal 77 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009, yang berbunyi, “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan”
Rusaknya seorang anak dan remaja bisa diakibatkan oleh kesalahan orang tua dalam mendidik anak. Kebebasan yang terjadi tanpa adanya kesadaran, mengakibatkan rendahnya kesadaran kognitif pada anak,  karena kognitif anak tidak seimbang. Disinilah peran orang tua dalam mengontrol dan mengawasi buah hatinya. Menjadi orang tua bukan soal siapa kita, tetapi apa yang seharusnya kita lakukan. Pengasuhan tidak hanya mencakup tindakan tetapi juga mengenai apa yang kita inginkan terhadap buah hati dalam mengerti dan menjalani kehidupannya. Perhatian dan kasih sayang merupakan hal yang mendasar bagi anak. Lingkungan rumah selain sebagai tempat berlindung, juga sebagai tempat mendapatkan kebutuhan hidup, bergaul, mendapatkan rasa aman, mengaktualisasikan diri, dan sebagai wahana perkembangannya secara fisik maupun psikologis. Dalam beraktifitas kita dikendalikan oleh konsep agama, latar belakang pendidikan, adat atau tradisi, identitas atau jabatan yang kita sandang. Kita bahkan jarang berpikir secara sadar untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya tidak kita lakukan. Jika kebebasan dan kesadaran bisa seimbang, maka pola kehidupan akan terasa nyaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar