Rabu, 13 November 2013





الصمت المكتئب للحزن
أتغني الشوق
تخيل مرور الوقت، وعلى استمرار يذوب الحزن
لااكثرغناءلجنة، لا أكثر الفنان للاسف، لا أكثرمن السلام في النفوس
إنما النجوم بائسة، وإنماالسماء إصابة
كما أصبحت لابتسامةالمجمدة
دمرت سليمة نوميعاصفةفي قلبي
عاصفةفي قلبي دمرت نفسي
تنظيف قوة لها حتى تآكل
كنت أغني في الخلط
أيمكن أن أذهب من خلال الرياح الرمالية الشوقية
أيمكن أنأنسى جمال لمليونسحرالأحلام
أيمكن قدمي من خلال جوهر الساخنة من الأرض
أيمكن ني أنتزج نفسي في بحرلظلام
أيمكن للبقاء على قيد الحياة في مهب الريح الباردة
إنما جواب واحد للقلب
كنت ذاهبن من خلا ل وأقود معالحب النقي بكل إخلاص





Cintaku terombang ambing di kota pahlawan
Ketika mata melirik hatipun mulai merasakan getaran irama dunia yang tersimbol dalam sinponi cinta. Pancaran cahaya suci menyeruak dari tubuh mungil yang penuh lapisan busana islami nan anggun. Pesona dunia mengalahkan kekuatan cinta yang telah lama tertaman dalam jiwa akhwatku. Kerinduan yang selalu tercurahkan hanya pada Dia semata, kini gemerlap kota pahlawan (Surabaya) melembur segenap rasa, menggoncang setiap aliran darahku. Dulu setiap hembusan nafasku tergores asmaNya, namun pengaruh kemewahan menghantam hati kecilku untuk masuk dan membuka lembaran baru. Awalnya aku hanya ingin berlabuh dalam samudera asmara tanpa harus terseret kedalamnya, namun badai kian menerjang membawaku kedasar lautan yang penuh karang kepalsuan. Mencoba berenang namun gelombang makin kencang membuatku terseret dalam kebisuan.
Senin, 07 februari 2011
Hari ini adalah hari penentuan yang penuh ketegangan, suasana menggetirkan. Dengan pelan aku melangkah melewati lorong-lorang kecil memasuki ruangan kelas yang sudah tertera dalam kode dan nomerku. Kulihat teman-teman pada tegang menunggu petugas ujian, wajahnya memancarkan kekhawatiran, namun senyuman indah masih tercurahkan untuk menutupi segalanya. Setelah lama kucari tempatku, akhirnya kutemukan bangku nomer dua dari belakang deretan bagian kanan pas disamping jendela. Belum lima menit ku duduk, ponselku berbunyi, teman-teman pada noleh ke arahku, mungkin mereka merasa aneh dan asing, aku yang biasanya terbiasa dengan tangan kosong tanpa gengaman handphone ditanganku kini mengundang perhatian mereka, segera kuraba ponselku.
“Be careful to answer the question. Good luck girl, you are lucky today. Fighting,,,,! Here I will always pray for you, don’t worry I’m with you girl.” By. Toni
Subhanallah, hatiku bergetar jiwaku bergeming “terimaksih ya Rabb, Engkau kirimkan malaikat penyemangat untukku.” Toni adalah orang pertama yang memberiku semangat dalam menghadapi tumpukan soal di hari pertama aku mengikuti ujian UNAS pada tingkat SMA. Walau hanya tersurat dalam pesan namun kalimat itu cukup memberiku motivasi. Aku mengenal toni beberapa bulan yang lalu, disaat aku mengunjungi saudaraku, Ilyas. Toni seorang pendatang baru, dia tinggi, cakep, gagah dan gak kalah hebohnya dia pintar. Dari perkenalan itu toni meminta nomer dan nama facebook-ku pada ilyas, tanpa menunggu persetujuanku Ilyas langsung menyudorkan nomerku. Harapku toni akan menjadi motivator dalam setiap gerakku. Selama ini aku tak pernah beranikan diri untuk menjalin persaudaraan ataupun persahabatan dengan lawan jenis, mungkin karna keluagaku yang terlalu agamis, fanatik dan membatasiku untuk berkelana jauh dalam berteman.  Namun kurasa Toni orang yang baik, perhatian dan bisa menghargai seorang wanita. Tak pernah kusangka Toni yang kukenal adalah ketua jurnalistik di pondok putra, hal itu ku ketahui disaat konferensi jurnalistik putra-putri pondok Al-jailani. Dalam konferensi ini disempurnakan dengan adanya seminar yang berjudul “mendongkrak pesantren dalam menghadapi modernisasi zaman.”. dalam sesi Tanya jawab, pertanyaan-pertanyaan mulai terlontarkan, seakan angin yang merobohkan teguhnya bangunan. Jurnalistik putra selalu mencoba menggulingkan pondasi yang ku miliki, hingga akhirnya menjadi perdebatan yang sengit. Hal itu berawal saat kuletupkan pertanyaan, Toni selalu kontra dengan pemikiranku, untungnuya moderator bisa menguasai audien, jadi aku bisa menahan emosi yang mulai berjingkrak dalam jiwaku. Suasana senyap menjadi panas dan penuh dengan linangan amarah, hingga waktupun berakhir dengan wajah kusut dalam keheningan.
“Alby masih marah sama kak Toni?” Naya menyodorkan pertanyaan membuka kebisuan.
“Aku Cuma sebel aja, apa sih maunya anak itu, bisanya hanya menyangkal pendapat orang, gak bermutu banget bukan.” Jawabku manyun. Naya hanya diam menghela nafas, sesekali matanya melirik kearahku, bola matanya mengisyaratkan ada secercah kehadiran mangsa disampingku, ku mulai mengerti dengan kedipan matanya, ku coba menoleh. Lagi-lagi Toni sosok yang menyebalkan itu berdiri tepat disebelahku.
“Selamat ya pemikiranmu sangat dalam, hingga aku terpancing merasuk dalam diskusi yang begitu asyik dan menyenangkan.” Ucapnya sambil melemparkan senyum padaku, aku gak getir dengan kata-katanya. Entah itu pujian atau ejekan semata, tapi yang aku tau dia bersorak dalam keangkuhan.
“oke terimakasih kamu telah hadir merubah ruang menjadi istana.” Timpalku dengan senyum kepalsuan.
Entah apa yang ada dalam benak Toni saat itu, yang aku tau dia hanyalah sesosok yang aneh, dan membingungkan, datang meruntuhkan semangatku kemudian berkobar dengan senyuman yang seakan penuh ketulusan. Sejak perdebatan dalam forum itu Toni semakin rajin mengintai kata untukku, baik itu tersirat dalam tatapan atau tersurat dalam bait puisi. Sikap yang dulu tersimpul dalam kebijaksanaan, kini ternodai oleh gemerlap rasa dalam dirinya.  Namun diriku terbatasi oleh jeruji suci dalam istana pesantren, hingga setiap gerak dan langkahnya sulit terupdate dalam benakku. Akupun tak mengerti ketika rindu terbungkus untukku, ketika bunga cinta bermekaran menyambut kehadiranku. Mungkin hatiku belum tersentuh karna jarak yang membentang begitu jauh, atau mungkin cintanya hanya berayun dalam kata atau bualan yang menjadi dongeng disetiap malam. Berita tentang asmara menggetarkan setiap insan yang mendengarnya, tingkah dan sikapnya makin menjadi, kadang berlebihan didepanku, kadang juga menjadikanku ratu dalam sisinya. Namun sebaliknya, aku merasa tertekan dengan sikapnya, terasa ada beban disaat wajahnya menyembul kearahku, bahkan aku muak melihat kelakuannya yang keluar dari logika. Banyak pengorbanan yang Toni lakukan tuk meraih hatiku, tak pernah getir dan putus asa walau harus menanggung malu dengan sikap konyolnya di depan teman-temannya juga temanku.
Liburan sekolah menjadi hal terindah bagi anak pesantren, lebih-lebih aku. Ingin rasanya berteriak girang membentang cakrawala, tapi nafasku mulai mereda dalam kebahagiaan. Kini saatnya aku menuju surgaku, tempat dimana aku dilahirkan bersama ibu juga ayahku. Jam 09.00 pagi aku bersama teman-temanku menunggu bus yang akan mengantarkanku dalam dekapan sang bunda.
“Eheeemm, “ sebuah suara mengejutkanku, dengan gerak reflek ku menoleh kebelakang, disana kutemukan sosok insan yang selama ini menggebu di seantero pesantren.
“Assalamualaikum,,,”ucapnya memberi salam dengan senyum ketulusan. Temanku seakan mengerti kalau dua insan akan bertarung dalam percakapan yang lama, sehingga dengan gesitnya mereka beralih menjauh dariku.
“Waalaikumsalam,,,”jawabku. Belum kami ngobrol bus menuju bandung sudah berhenti didepanku, dengan segera aku mencari tempat duduk pas depan jendela, berharap bisa menikmati udara segar disepanjang perjalanan.
“Boleh aku duduk disini?”pinta Toni mengagetkanku, aku hanya mengangguk setuju. Suasana senyap tanpa suara bahkan sunyi oleh irama kata. Setelah 10 menit dalam keheningan Toni memecahkan suasana dengan menyodorkan minuman kearahku.
“Kamu langsung pulang”Tanya Toni membuka pembicaraan.
“Iya pastinya”jawabku dengan penuh senyum keyakinan. “ Emang kamu gak langsung pulang” kataku balik Tanya.
“Sebenarnya aku mau langsung pulang, sekalian kita searah, tapi aku masih ada acara, insyaallah besok aku,,,” belum melanjutkan perkataannya bus udah berhenti, dengan segera Toni berdiri dan melompat dari bus, namun walau dalam keramaian penumpang, Toni masih sempatnya melemparkan kertas kearahku. Kini bus mulai melaju membawaku terbang dalam angan hingga menjauh dari bayang-bayang Toni. Dengan pelan kuraba kertas putih yang bertuliskan tinta biru.  
Dear , Iftah Qalby (alby), sang inspirasi jiwa.
Kutitipkan desah hati pada udara yang letih
Sudahkah kau membaca desahku dalam mimipimu yang basah?
Jika tidak,,,,
Maka akan ku larung harap pada hening yang bising
Jeritannya yang lelah akan memekakkan telingamu
Hinnga kau tuli tak bisa mendengarku untuk selamanya
Dan aku….
Akan menjadi bayangan yang absurd dalam cermin keabadianmu.
Hati yang tak mungkin berlayar untuk berlabuh pada hati yang berbeda.
Pesona hatimu telah menundukkan egoisme jiwa dalam diri.
Terpasung dalam rangkaian hidup yang kau jalani.
Dalam angan yang kau balutkan dalam jiwaku.
Suka dukaku akan selalu terpaut dalam dirimu.
Kesadaranku tak bersama peduliku
Yang kutahu peduli dalam diriku adalah dirimu.
                                                                                                By: Toni Saputra
Ku hayati setiap kata yang terhembus dalam tinta ketulusan, kadang terlihat bait yang menggelitik jiwaku, kadang senyuman menjawab getaran hatiku. Sampai detik inipun hatiku belum tersentuh seutuhnya, tak ada respon hangat dariku. Aku merasa semua hanya fiktif belaka, aku belum pernah mendengar langsung dari orang yang telah lama merongrong jiwaku dengan  penuh filosofi cinta. kutulis secercah kata yang mengambang dalam benakkku.
                      Dalam kreasi kuletupkan suara hati
                     Meminta waktu menafsirkan puisi
                    Dari seorang pujangga yang penuh filosofi
                    Jiwa bergetar hati bertanya
                   Semua diam bungkam tanpa suara
                   Rasa mengambang dalam terpaan irama kebimbangan
                  Teman, shabat atau apakah itu?
Kamis, 15 September  2011
Semenjak lulusan SMA cerita yang pernah mewarnai hidupku mulai sirna, telah lama Toni menghindar dari kehidupanku, mungkin rasa kecewa dan putus asa yang membuatnya menjauh dari lukisan hidupku, namun justru kepergiannya menyisakan luka yang begitu dalam, menancap, mengiris setiap lubang di hatiku. Entah apa yang membuatku menggila, merindu bahkan diriku linglung dengan sebuah penantian, mungkin inikah cinta, hadir disaat penawar racun lenyap dari dekapan, disaat awan cinta tak lagi bersemayam dibawah langit kerinduan, disaat penantian terseret dalam badai ketidakpastian. Hari demi hari kulewati tanpa kabar darinya, bulan demi bulan kutorehkan kesedihan tanpa tambatan darinya, satu tahun kujalani tanpa kerdipan komunikasi bersamanya. Akhirnya ku ambil cara terakhirku tuk coba menepis rasa yang lama tertimbun dalam ketidakpastian, hiruk piruk kota Surabaya mengajarkanku tentang kemandirian, tak ada lagi ketergantungan dalam langkahku, yang ada hanyalah perenungan. Namun harapku tak semulus yang aku kira, rasa itu begitu melekat dalam setiap hembusan nafasku. Banyak pelajaran yang kupetik dari pengalaman pahit ini, bahwa tak ada salahnya mencoba merangkai cinta dan menghargai perasaan, agar orang yang kita cintai selalu disisi kita. Tapi saat kucoba berenang, diriku hanyut terseret dalam dasar lautan kebingungan, aku merasa terombang ambing dengan rasaku sendiri. Hal ini berawal ketika aku mengenal Irfan, Irfan adalah seniorku dikampus, dia baik, perhatian dan penuh pengorbanan. Sejak itu aku mulai memecah kesunyianku dengan mengoleksi banyak kawan, tapi harapanku tak semulus yang aku kira, Irfan yang aku anggap sebagai teman, malah mengutarakan isi hatinya bertepatan ketika Raihan teman angkatanku mencoba mendekatiku, sungguh aku bingung, padahal hatiku masih terkunci dengan rasa cinta, aku hanya ingin banyak teman, karena kurasa mereka akan menjadi motivatorku.
Setiap aku melangkah, jiwaku terasa tergoncang, diri ini terasa terbebani oleh dua rasa yang membentang menjadi bayang-bayang dibenakku. Disisi lain aku tak ingin menjadi boomerang bagi hidup mereka, tapi aku tak mau persaudaraan ini berakhir tanpa makna, namun diriku sadar, kebahagiaanku terselimuti oleh egoisme jiwa. Dua sayap terbang dalam harapan yang sama, mengais cinta dari sang dara jelita. Aku terpagar oleh duri dilema, dengan penuh pertimbangan kurangkai seuntai kata yang tersirat dalam keheningan, tapi tak mungkin kutemui dua gejora dalam lintangan cakrawala. Akhirnya ku letupkan strategi agar tak ada hati yang tersakiti, pertama kutemui Irfan dikebun Ilmu kampusku, disaat menara cinta tak lagi terhembuskan, dengan pelan kuucapkan coretan hatiku yang selama ini ditunggu sebagai jawaban pertanyaan yang menggelisahkan.
“Kak Irfan, maafin aku . aku gak bisa menjalani hubungan ini lebih dari persaudaraan, aku sangat menghargai pengakuan dan kejujuran kak Irfan, tapi  tuk saat ne aku hanya ingin fokus ma kuliahku dulu kak, disamping itu cinta tidak hanya teruraikan dengan kata, tapi harus terlaksanakan dengan hati,terimakasih kakak udah menjadi orang yang baik buatku selama ini.” kataku pelan penuh dengan kegelisahan. Namun kegelisahanku berujung dalam ketenangan ketika ku dengar respon Kak Irfan yang meyakinkan nan bijaksana.
“Dek, apa yang pernah kulakukan bukan berarti kedok untuk mengupas sebagian hatimu, kebaikan yang aku berikan ikhlas tanpa alibi, aku mengerti maksudmu. Bisa kenal denganmu suatu kebahagiaan buatku, tapi harapanku semua akan indah pada waktunya.” jawabnya menggertakkan jantungku. Semua diam tanpa suara, ingin kubisikkan satu kata; tapi aku tahu dalam dirinya masih menyimpan harap. Akhirnya ku akhiri dengan Salam perpisahan. Hari pertama telah kulewati memerangi nafsu angkara, hari kedua kucoba desahkan kata yang pernah ku lantunkan bersama Kak Irfan, namun hasilnya bertolak belakang, Raihan tidak bisa menerima jawabanku, dia selalu menepis dan memaksa hati tuk berlabuh dalam hatinya. Sungguh diriku lemas tak berdaya, aku seakan terbelenggu dalam samudra kematian. Aku terkaram dalam emosi, jika memang hati tak bisa meredam keangkuhan, maka ketegasan harus hadir bersama kerapuhan, walau akhirnya harus berakhir. Aku benar-benar bingung, sedangkan mutiara cinta tak pernah bersinar dalam ruhku. Menerimanya hanyalah sebuah kemunafikan, jika hal itu terjadi, berarti diriku membuat sarang kenestaan. Semenjak pertikaian  hati merombak dalam tiga jiwa, komunikasipun mulai merenggut persaudaraan, lebih-lebih Raihan, dia yang biasanya menari dalam setiap langkahku kini menjauh tanpa tegur sapa. Kak Irfan yang telah lama menghilang kembali dengan secercah harapan, aku serba salah apa sikapku yang selalu memberi harapan, hingga mereka masih dalam penantian.
Selasa, 06 Maret 2012
Saat liburan menghambar, aku mulai mengemas barangku menempuh gubuk yang menjadi sumber hidupku. Sebelum aku pergi, kudengar ponselku berbunyi. Saat kubuka kutemukan pesan singkat dari Kak Irfan, dia meminta aku untuk bertemu walau sekejap. Dengan penuh pertimbangan ku kabulkan permintaannya, ketepatan aku bersama temanku (Rasti), begitu juga Kak Irfan, dia datang dengan temannya ( Kak riko), teman yang selalu menjadi curahan hatinya, tak pernah kusangka Kak Riko sudah mengetahui semua bianglala asmara yang terkuak dalam diri Kak Irfan, bahkan disaat pertemuan berakhir Kak Riko menghubungi aku untuk memberi ketegasan, karena selama ini Kak Irfan tersakiti, bahkan jiwanya tak normal, hal ini berawal ketika Kak Irfan mendengar tentamg pertemuanku dengan Kak Rafi, teman baru Rasti. Padahal saat itu aku terpaksa menemani Rasti, karena tak ada pilihan lain, walau sebenarnya aku masih terlilit oleh banyak tugas. Siapa yang bisa menerka, Kak Rafi yang selalu diagung-agungkan oleh Rasti hanyalah musuh dalam selimut, dia sengaja mengajak Rasti ketemuan agar bisa bertaut kata denganku, dengan harapan semua orang bilang dia paling hebat, dan laki-laki yang jantan, dia bisa dapatkan apa yang tak bisa diraih oleh temannya, kebetulan dia temannya Kak Irfan juga Kak Riko. Setelah pertemuan itu dia mengarang sebuah cerita yang begitu sempurna, dia bilang dia bisa menyentuh hatiku walau hanya dalam sekejab. Dengan penuh kemarahan Kak irfan luapkan padaku, aku hanya membisu, pembelaanku tak pernah tersosialisasikan, akhirnya aku memilih diam, untungnya Kak Riko orang yang dewasa dan bijaksana, dengan letupan katamya dia coba tuk meredam amarah dalam diri Kak Irfan. Dari situlah, Kak Riko meminta aku untuk menghindar dari hidup Kak Irfan, karna harapan itu sudah sirna, pergi adalah jalan yang terbaik. Walau sebenarnya diriku teriris oleh kesedihan, tapi ini ruang yang harus ku pilih, kini tak ada lagi tautan inspirasi darinya, tak ada lagi siraman ketenangan darinya. Selamat datang dunia baruku, sambutlah diriku dengan senyum ikhlasmu, aku akan berkelana bersama langkahku.
Senin, 11 februari 2013
Kini diriku sudah beranjak dewasa, saatnya ku mantapkan diriku untuk serius dalam programku. Ayah, ibu juga kakakku sangat mengharapkan diriku, yang akan hadir dalam kecerahan. Hati tak ingin mengecewakannya, namun rintanganpun datang kembali ketika aku mengenal Rama, Adi juga mas Alfin. Bagiku mereka sumber inspirasiku, karena selain mereka baik, mereka juga pintar, dan selalu nyambung dengan segala topik. Awalnya mereka menjelma menjadi malaikat dalam hidupku, banyak pengorbanan yang mereka lakukan untukku, tapi semua hanyalah basa basi untuk mencairkan hatiku, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan serba serbi cinta. Mas Alfi anaknya serius, religious, dan fanatik. Namun kadang dia sering mengumbar kelebihannya didepanku, hingga membuatku sedikit ilfil, tapi ku tetap jalani bersamanya mengikuti arus rintangan. Adi anaknya baik, perhatian, sensitive dan puitis, sedangkan Rama orangnya netral, bisa ada dalam semua pihak, walau kadang gokil, tapi juga menyenangkan sekaligus menyebalkan. Duniaku terasa lebih berwarna dengan kehadiran tiga cahaya disisiku setelah sekian lama aku terkurung dalam ketakberdayaan. Komunikasiku semakin lancar, bahkan mereka menjadi inspirasi penaku. Entah mengapa selama ini Adi menaruh rasa yang berbeda denganku, lama sudah membendungnya hingga akhirnya dia tumpahkan padaku. Saat malam mulai bercengkrama dengan kesunyian, Adi layangkan sebuah puisi melalui pesan singkat yang membuatku makin takut.
Aku tak tahu apa yang harus dikata
Saat hati bersemayam beribu kata
Akhirnya, hanya bisu yang kupilih
Jiwaku merintih
Sejauh mana jalinan ini Akan melangkah
Akankah jalinan ini Akan menjemput dua rasa
Yang Akan tersimpul dalam satu ikatan
Lagi-lagi aku berhadapan dengan sang pujangga, yang setiap rangkaian katanya mengandung miliaran makna, aku direntangkan dalam bingkisan yang membingungkan, disisi lain aku menginginkan Adi tetap disisiku tanpa ada rasa yang baru, karena dengan hadirnya menumbuhkan kuncup kecerahan dalam langkahku, namun aku tak mungkin bertahan disaat hatinya ingin merengkuh jiwaku. Mungkinkah diriku terperangkap dalam egoisme jiwa?. Kutuntaskan liku-liku hatiku, mencoba mengalirkan kejernihan dalam ruhnya. Dalam kata Adi bisa menerima penjelasanku, tapi rasa siapa yang bisa mengerti, karena rasa itu tak bisa diungkapkan. Walau kutahu Adi yang sebenarnya, kutetap redam dalam hati, aku tak ingin menyakitinya, biarlah waktu yang akan menari dalam kebijaksanaannya.
Seiring berjalannya waktu kuraih kehidupan yang penuh belenggu, lebih-lebih saat gosip tantang hubungan palsu yang yang terjalin antara aku dan mas Alfin tersebar disetiap insan melintas, harapku untuk hidup tenang makin sempit. Bahkan orang yang kuanggap close friend (Rama) menjadi sumber dari semuanya, hingga terdengar jelas di keluarga besarku, padahal aku sudah perjanjian dengan keluargaku kalau diri ini hanya fokus dengan kuliah, tanpa kata pacaran, tambah kakak memang melarang aku untuk pacaran, akhirnya aku harus menanggung buah yang tak kutanam. Jelas-jelas aku gak ada hubungan serius dengan Kak Alfin, mengapa harus sesempurna itu ceritanya. Tak ada pilihan lain aku harus mau dijodohkan dengan pilihan keluarga yang sudah direncanakan sejak aku masih dibangku SMA, mengelak takkan ada pertimbangan, karena semua sudah didepan mata. Sebenarnya Kak Fatir tidaklah jelek, malah dia lebih cakep dari orang-orang yang selama ini dekat denganku, diapun tak kalah baiknya, dia perhatian, dewasa, pintar dan tanggung jawab, tapi aku hanya menganggapnya seorang kakak, tidak lebih dari itu, walau sebenarnya Kak Fatir berharap aku menjadi tulang rusuknya. Pertunanganpun dimeriahkan walau hati menangis, tapi kupasang wajah ceria berharap kedua belah keluaga tersenyum bahagia. Sejak ikatan itu di sahkan ku pasang tali perekat hati, tuk berhenti bersenandung dalam irama kemunafikan. Segala maaf ku letupkan dalam rebahan Adi, dia hanya diam sesekali air matanya membanjiri lautan pipinya. Sebaliknya aku hilang kontak dengan Rama, seiring berjalannya waktu dia mengerti akan khilaf yang diluapkan. Namun ku udah gak perduli dengan semua itu, karena takkan bisa merubah keadaan yang terlanjur basah.
Dua tahun kujalani ikatan tanpa kabar berita, bagiku bisa bertunangan sudah menghindar dari tanggung jawab, tak mengerti akan dibawa kemana hubungan ini. Satu minggu dari pernikahanku, Toni datang dalam hidupku membawa sepucuk cinta dan sayang, aku yang selama ini menyimpan rindu tak bisa menolak kehadirannya, kusambut dengan penuh rasa. Walau kutahu pasti banyak hati yang tersakiti, tapi cinta tak bisa dipaksa. Akhirnya aku kembali kesurabya mengejar cintaku yang telah lama tertimbun oleh waktu, dan kurajut cinta bersamanya. Tak bisa dipungkiri baik keluargaku juga keluarga Kak Fatir mengasingkan aku, lima bulan aku seakan hidup sebatang kara, hanya tangis yang bisa ku torehkan. Kak Fatir yang ramah nan bijaksana datang  dan mengikhlaskan hubunganku dengan Toni, dari situlah dua keluarga menyatu kembali. Sedang aku asyik dalam cinta sejatiku. Mungkin inilah bianglala cinta yang harus ku tempuh tuk meraih cinta yang haqiqi.


Kecelakaan Dul:
 Antara Kebebasan dan Kesadaran Kognitif


Kasus kecelakaan maut yang menimpa Dul (Abdul Qadir Jailani) 13 tahun, seakan benar-benar menjadi bentuk kritik pada jiwa manusia, terutama orang tua untuk terus menopang kesadaran dalam setiap tindakan anak. Yang terpenting dalam kehidupan anak tidak hanya materi yang melimpah, fasilitas yang memadai, tapi juga kasih sayang serta arahan positif dari orang tua. Kelalaian orang tua dalam mendidik anak bisa mengantarkan anak ke jurang kehancuran dalam kehidupannya. Kebebasan yang diberikan tanpa adanya kesadaran tidak akan bermakna apa-apa, dikarenakan jiwa anak yang masih sulit untuk mengontrol kognitif secara normal.

Eksistensi Kebebasan dan Kesadaran
Setiap manusia mempunyai kebebasan dalam segala hal, baik dalam tindakan, sikap ataupun perbuatan, dimana semua itu dirangkai dengan substasi dan tanggung jawab dalam dirinya. Begitulah penjelasan firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al Fushshilat ayat 40. Manusia sebagai subjek yang otonom, secara fundamental bebas berbuat dan menentukan pilihan. Adanya kebebasan tak jarang memberikan kesempatan yang buruk bagi anak remaja, bahkan juga diaplikasikan dalam lingkup sosial, hingga membudidaya dalam jiwanya. Arus besar hidup selalu mengantar pada garis waktu, bisa jadi kebebasan hanya formalitas untuk kesenangan sesaat. Hal ini terjadi ketika anak remaja terjun dalam dunia bebas tanpa jangkauan orang tua. Ketika dunia telah merajalela dalam jiwa manusia, diikuti dengan kebebasan dan kesadaran yang tidak seimbang dalam memaknai hidup, maka akan membawa manusia yang dalam hal ini remaja, pada titik kehancuran.
Korelasi antara kebebasan dan kesadaran yang benar-benar substantif sangat perlu diterapkan dalam perilaku manusia sehari-hari, lebih-lebih pada anak yang masih labil. Kebebasan menjadi kunci utama kebahagiaan manusia dalam meraih esensi indahnya kehidupan. Sedangkan kesadaran menyalurkan pikiran dan perasaan untuk tetap menjaga nurani dari tantangan hidup yang bisa membawa jiwa manusia pada sikap pragmatis, hedonis, transaksional dan lain-lain. Namun  dilihat dari fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, koridor nurani manusia masih sempit. Politik dan kemewahan mengaung dalam ruang kehidupan yang masih kelabu, dimana korupsi, kenakalan remaja, ugal-ugalan, mabuk menjadi rutinitas yang tunduk dalam keseharian, tanpa mementingkan proses dan revolusi mental pada diri manusia itu sendiri.

Kesadaran Kognitif
Walaupun kebebasan bersemayam dalam jiwa manusia, namun dibalik itu, ada hal penting yang harus disadari untuk menentukan pilihan. “Hakikat manusia adalah jiwanya”, demikian Platon berkata. Seharusnya kita mendalami secara spesifik bagaimana kita bisa mengoptimalkan jiwa kita. Di tengah kesibukan aktifitas untuk memenuhi kesenangan dengan berdalil kebebasan, hendaknya kita mencari tahu dengan bijaksana tentang kebutuhan jiwa kita sendiri. Tetapi, bagaimana mungkin kita mencari tahu sesuatu dengan bijaksana kalau kita tidak mengenali diri kita sendiri pada mulanya? Kita seakan-akan mesin yang dikendalikan oleh nafsu badani. Contoh konkretnya, bisa kita lihat dan renungkan pada kecelakaan yang menimpa Abdul Qadir Jailani (Dul). Dengan usia yang masih dini, dia mengendarai mobil sampai larut malam padahal masih dibawah umur yang sudah pasti belum mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM). Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Kebebasan anak atau kelalaian orang tua?  
Secara psikologi, kontrol kognitif anak seumuran Dul belum berfungsi secara normal. Kepekaan dan kepedulian pada usia tersebut masih labil, sehingga tidak mampu memprediksi antara jarak satu mobil dengan yang lainnya.  Selain itu,  secara emosional anak seumuran Dul belum bisa mengontrol diri ketika mengendarai dengan kecepatan tinggi. Karena sejatinya, kognitif anak  akan berfungsi secara  normal baru ketika berusia 17 tahun . Maka dari itu, undang-undang mengatur dengan jelas bahwa pengemudi mobil haruslah mereka yang sudah berumur 17 tahun dan memiliki Surat Izin Mengemudi. Peraturan ini secara jelas tercantum dalam Pasal 77 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009, yang berbunyi, “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan”
Rusaknya seorang anak dan remaja bisa diakibatkan oleh kesalahan orang tua dalam mendidik anak. Kebebasan yang terjadi tanpa adanya kesadaran, mengakibatkan rendahnya kesadaran kognitif pada anak,  karena kognitif anak tidak seimbang. Disinilah peran orang tua dalam mengontrol dan mengawasi buah hatinya. Menjadi orang tua bukan soal siapa kita, tetapi apa yang seharusnya kita lakukan. Pengasuhan tidak hanya mencakup tindakan tetapi juga mengenai apa yang kita inginkan terhadap buah hati dalam mengerti dan menjalani kehidupannya. Perhatian dan kasih sayang merupakan hal yang mendasar bagi anak. Lingkungan rumah selain sebagai tempat berlindung, juga sebagai tempat mendapatkan kebutuhan hidup, bergaul, mendapatkan rasa aman, mengaktualisasikan diri, dan sebagai wahana perkembangannya secara fisik maupun psikologis. Dalam beraktifitas kita dikendalikan oleh konsep agama, latar belakang pendidikan, adat atau tradisi, identitas atau jabatan yang kita sandang. Kita bahkan jarang berpikir secara sadar untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya tidak kita lakukan. Jika kebebasan dan kesadaran bisa seimbang, maka pola kehidupan akan terasa nyaman.